Cerpen Tukang Kebun dan Sang Pemimpin


            Suara ayam jago membangunkanku dari ranjang berdebu nan kotor di kampung ini. Kampung kumuh, yang berada di samping Sungai Ciliwung yang  lebih mirip tempat sampah raksasa. Populasi manusia sangat padat disini. Rumahkupun hanya sepetak berukuran 5x4 meter. Aku bersyukur hari ini lebih baik dari hari sebelumnya. Atap yang bolong sudah diperbaiki, dinding yang retak juga sudah diperbaiki, sepedah bututkupun sudah berganti dngan motor. Semua berkat empati darinya, dia sang pemimpin negeri ini.

            Tak terasa, matahari semakin menderang, dan fajar telah menghilang dari pandangan. Tampak warga mulai beraktifitas di kampong pinggir kota metropolitan yang katanya ibu kota negeri. Mereka ada yang kepasar membawa dagangan, ada yang pergi membawa alat tukang karena mereka buruh, ada pula yang membawa alat kebun sama sepertiku.
            Lalu, kemudian istriku membuatkan sarapan sederhana. Ada nasi yang ditemani telur mata sapi, ada pula lalapan daun ubi dan sambal. Yang jelas ini makanan yang merakyat tak seperti para pejabat korup yang jauh dari rakyat.
“Babe.. sarapan nih..” begitu sapa istriku khas betawi (dengan penyebutan e seperti pada kata Becak).
“Iye …” jawabku (Penyebutan e seperti pada kata Becak, saya yakin anda lebih mengerti)
            Usai sarapan Aku bergegas ke depan rumah dan mengambil Karung di samping teras rumah yang berlantai tanah. Di dalam karung itu terdapat perlengkapan berkebun seperti gunting tanaman, sekop, penggaruk, sekop mini, pemangkas, penyiram dan masih banyak lagi. Tentu semua itu tidak mungkin aku beli sendiri melainkan pinjaman dari tempat usaha jasa dekat kampungku.
            Akupun pergi berjalan beberapa kilometer menuju jalan merdeka utara menuju istana Negara, disanalah aku bekerja untuk merawat kebun dan tanaman yang ada didalamnya. Semua bermula ketika sang presiden, atau biasa rakyat menyapanya dengan sebutan Pak RM menemukanku saat aksi blusukannya ke kampong. Lalu ia memberiku pekerjaan di sana. Sudah 10 tahun lalu itu terjadi, dan hari ini mungkin hari terakhirnya bertemu denganku, karena yang pergi bukanlah aku melainkan di sang presiden.
            Yang selalu ku ingat dari sosok presiden adalah sikapnya yang selalu focus terhadap masalah yang dihadapi, selalu sabar, bijaksana, ramah, merakyat, pintar, dan masih banyak sifat agung yang dia milikinya. Juga merupakan sosok yang tangguh saat bekerja dan merakyat. Pernah waktu itu aku melihat dia menyapu ruang kepresidenannya dan mengemasi barang-barang yang ada di dalamnya. Pernah juga aku menyksikan percakapan beliau dengan staaf konsumsi istana tentang menu makanan.
“Selamat sore pak..” sapa staf itu pada pak presiden di dalam istana.
“Iya Sore, oh iya besok kalian masak apa?” tanya sang presiden.
“Ayam goring untuk lauknya. Dan sayurnya sop pak..” kata staf itu.
“ohh, bagaimana jika diganti saja.. ” kata sang presiden sambil memegang koper di depan ruang kerjanya.
“Baik pak akan kami usahakan, bapak mau apa..” kata staf itu ramah.
“Coba masak tempe, terserah kamu ingin olahnya bagaimana. Dan dan sayurnya daun ubi saja. Kebetulan besok saya ada tamu dari delegasi china, saya ingin mereka menikmati makanan asli Indonesia.”
“Baik pak, baik…” jawab staf itu.
            Bukan hanya soal makanan namun juga soal kebun dan pekarangan istana. Pernah suatu ketiaka pak presiden menyapaku lalu membantuku saat sedang mengangkan karung berisi pupuk. Itu terjadi beberapa tahun silam.
“Assalamu’alaikum tejo, selamat pagi.” Sapa sang presiden dengan senyum, saat itu dia sedang jogging di sekeliling istana, dan tak kusadari dia menyapaku lebih dulu.
“Waalaikumsalam, oh iya pagi pak. Maaf..” jawabku dengan sopan, sambil berusaha mengangkat karung.
“wahhh, sini biar saya bantu.” Katanya..
“Jangan tidak usah pak, tidak apa biar saya saja” kataku menolak.
“ahh kamu ini, ini berat loh, harus saya bantu. Kamu ingat kan waktu itu saya pernah bilang bahwa tugas pemimpin adalah membantu rakyatnya.” Katanya dengan tersenyum. Saat itu pakaiannya terlihat kotor karena terkena tanah yang melekat pada karung.
            Waktu terus bergulir dan tak terasa aku telah sampai di depan istana tepatnya di jalan merdeka utara.
“Pagi bos..” kataku pada petugas keamanan yang sudah akrab denganku.
“ehh jo, masuk lah, tuh pohon beringin pada kangen sama kamu” katanya bercanda.
“haha kamu ini…” kataku sambil masuk ke dalam halaman istana.
            Pagi hari ini aku harus bergegas membenahi pekarangan istana, kenapa? Karena nanti pukul 13.00 waktu Indonesia barat sang presiden akan melakukan serah terima jabatan dengan presiden yang baru. Tak terasa sepuluh tahun sudah aku bersamanya, aku tahu betul berbagai macam masalah yang pernah menimpanya.
            Yang paling tragis adalah saat salah satu keluarga Pak RM meninggal yakni abangnya yang bernama Ringga Satria, seorang lulusan Akpol saat ia meninggal ia sedang menjabat Kapolri. Kejadian itu sepuluh tahun lalu saat proses kampanye presiden baru. Banyak yang menduga kecelakaan yang dialami Kapolri Jendral Ringga itu adalah setingan lawan politik Sang presiden kala itu. Karena mereka keluarga, banyak yang menduga Pak RM akan menang ditambah Pak RM merupakan mantan ketua mahkamah militer, pak RM merupakan tamatan Sepa TNI PK usai merampungkan studinya di Fakultas Hukum UI dan ia juga mantan Panglima TNI NKRI yang memiliki track record yang baik, ia menjabat Panglima dimasa yang sama dengan abangnya. Oleh karena itu banyak yang memuji kepemimpinan mereka yang terlihat kompak. Namun dibalik semua prestasinya itu akan selalu ada orang yang ingin menjatuhkannya. Namun dengan kebijaksanaan nya Pak RM sangat sabar akan kejadian itu, dan kini dia tak punya darah kandungnya lagi ayah, ibu dan abangnya sudah tiada. Kini dia sendiri bersama rakyat yang mencintainya.
            Hari semakin siang, terasa letih tangan ini membersihkan pekarangan, tampak bunga-bunga sudah segar ku sirami, juga tampak tanaman-tanaman memamerkan dirinya usai aku memotong daunnya yang berantakan. Dan kemudian aku beristirahat siang itu di bawah pohon beringin samping istana, sebuah tempat yang nyaman bagiku. Terlihat dari sini para pasukan paspampres mulai memadati area dalam dan luar istana. Juga terdapat orang-orang berpakaian preman, biasanya itu intelejen. Tamu-tamu kehormatan juga semakin ramai. Lalu aku semakin tersudut, aku pun pindah ke gudang. Yahh gudang tempat itu yang cocok untukku.
            Terdengar dari ruang ini, suara sirine mobil polisi, tanda bahwa Pak Presiden RM sudah hadir bersama Presiden yang baru. Lalu, beberapa menit kemudian ada yang menggedor ruangan ini akupun bertanya-tanya pada diriku. Saat aku membukanya, terlihat papan nama yang tersemat di dada kanannya bertuliskan Presiden Raga Mahendra. Akupun terkejut.
“Nah betulkan, saya sudah tahu kamu pasti disini. Ayo mandi ganti baju, saya sudah siapkan baju batik untukmu lengkap. Saya ingin nanti kita berfoto bareng. Sebagai perpisahan kita, tetapi kamu masih bisa kerumahku di cikeas kapan saja. Oke? ” begitulah kata sang Presiden yang tampak akrab denganku.
            Begitulah kisah yang tertuang disanubariku. Dialah sosok pemimpin yang adil dan dicintai rakyatnya. Semua tahu dia adalah sosok mujahidin yang terlahir dari keluarga kampong sedrhana di pulau borneo sana 65 tahun lalu. Diam-diam aku sudah menyiapkan sebuah bibit pohon mangga harum manis, supaya ditanam olehnya dirumah pribadinya di Cikeas. Dan semoga setiap buah yang dihasilkan ia selalu mengingatku. Terima kasih pak atas pengabdianmu pada negeri ini. Bapaklah Presiden yang rakyat selalu menyebut bapak Sang Pemimpin yang mampu menjaga wibawa Negara ini.

~Sekian

Karya: I'ib Persada

Post a Comment

3 Comments

  1. Wah ceritanya keren, bahasanya juga keren.. Lanjutkan, ditunggu cerpen berikutnya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. request lah lan... mau tema ape?? tapi gak mesti di buat sihh

      Delete

Silahkan berkomentar dengan bijak dan santun.