Cerpen Sepucuk Surat Terakhir Ibu

           Aku duduk tersimpu malu diatas kasur memandangi jendela yang basah terkena deburan air hujan. Tetes demi tetes air hujan mengalir di kaca jendelaku. Sedangkan Aku terisak sedih meratapi takdir ini, ingin rasanyaku berbakti dan memohon maaf sekali lagi, namun semua itu kini sudah sirna. Hatiku terasa nyeri, tak tahu ingin berkata apa. Kemudian tetes demi tetes air mata mengalir deras dimataku yang kemudian jatuh membasahi pipi. Semua kesedihan ini bermula ketika aku pulang sekolah sehari yang lalu.
***
            Saat itu tepat pukul 17.00 WIB, aku pulang kerumah padahal sebenarnya aku harus pulang pukul 14.00 WIB.  Bersiaplah aku menghadapi comelan seorang lelaki dewasa yang aneh itu.
“Assalamu’alaikum…” kataku sambil membuka garasi.
“Heyy Raga! Kemana saja kamu? Terlambat pulang saja terus!” kata laki-laki aneh itu membentakku.
“Memangnya kenapa? Bukannya aku harus latihan lomba bersama  teman-teman pramukaku di SMP, ibu saja tahu..” kataku sedikit melawan.
“Beraninya kamu melawanku!” kata laki-laki aneh itu sambil membentak dan juga memukulku.
“Astaghfirullah…, sudah yah sudah, sabar..” kata ibu menenangkan.
“Dasar kamu anak tiri tidak tahu diri! Sudah numpang makan, tidak tahu terima kasih lagi!.” Kata laki-laki aneh itu dengan emosinya.
            Kemudian Aku bergegas masuk ke kamar tanpa memperdulikan tingkah ayah tiriku itu. Aku mencoba melupakan kejadian itu yang sudah sering aku alami. Kemudian aku terduduk diatas kasur sambil memandangi jendela dengan memasang wajah kesal, seketika itu teringat sosok ayah.
“Andai saja ayah masih ada, mungkin aku tak akan hidup sebegitu menderita seperti saat ini. Oh ayah hidupku kini hanya bersama ibu dan abang, aku juga harus menghadapi ayah tiri jahat itu sejak setahun yang lalu di desa. Kini aku hidup di kota, memang disini semua terasa lebih, lebih nyaman rumahnya, lebih enak makanannya, dan masih banyak lagi yang lebih. Namun jujur saja aku sesungguhnya kekurangan kasih sayang. Sehingga membuatku lebih egois dan suka marah-marah. Oh ayah bagaimana jika aku juga kehilangan ibu. ” bisikku lembut pada hati yang sedang mengeras.
            Kemudian datang seseorang mengetuk pintu.
“Tokk,, tok,, Raga, buka pintunya” kata ibu.
“Iya bu, sebentar..” jawabku sambil mencari kertas gambar seni rupaku.
“Raga.., kenapa lama sekali? Coba pintunya jangan di kunci . ibu mau bicara sebentar dengan kamu nak..,” kata ibu dengan lembut.
            Lalu kubuka pintu kamarku itu dengan suasana hati yang masih marah.
“Ada apa bu..?” kataku dengan nada kesal.
“Raga, coba kamu minta maaf gih dengan ayah..,” kata ibu membujukku.
“Tidak bu, tidak.. aku tidak sudih. Dia bukan ayahku. Harusnya dia yang minta maaf.” Kataku dengan kesal sambil mencari kertas gambar seni rupaku.
“Ya ampun Raga, bagaimanapun dia ayahmu yang member nafkah kini.” Kata ibu sabar.
“Oke bu dia ayahku! Ayah yang kejam..” kataku kesal.
“Sudah-sudah sabar.., istighfar tenangkankan dirimu nak..” kata ibu menenangkanku.
            Akupun beristighfar di dalam hati, namun tidak menjawab perkataan ibu karena aku masih marah dengan ayah tiriku itu. Terlihat ibu masih saja bersandar di kusen pintu kamarku, ia memerhatikan gerak-gerikku yang sedang bingung.
“Raga, kamu cari apa?” tanya ibuku.
“Aku mencari kertas gambar seni rupaku bu. Ibu lihat kertas itu?” jawabku.
“Ya ampun nak, maafkan ibu.., tadi pagi setelah kamu berangkat sekolah ibu mengemasi kamarmu yang berantakan. Lalu, ibu mengambil kertas itu, ibu kira itu sampah yang sudah tidak dipakai lagi jadi ibu buang ke tempat pembuangan sampah. Ma..” kata ibu dan aku memotong perkataannya.
“Apa?? Ibu.. ah ibu.. kenapa ibu buang. Itu tugas sekolah raga besok mau dikumpulkan, tidak mungkin mengerjakannya lagi dalam waktu sehari, butuh waktu seminggu..!” jawabku marah-marah.
“Aduh maaf ya nak, ibu salah..” kata ibu memohon.
“Ahh sudahlah ibu pergi saja dari kamar ku..!” kataku marah-marah karena terbawa emosi dengan ayah tiriku itu.
            Lalu setelah itu, tanpa sepengetahuannku dengan sabarnya ibu pergi ke tempat pembuangan sampah dekat rumahku. Dimana di tempat pembuangan sampah itu ibu membuang tugasku bersama sampah rumah tangga lain. Sesampainya di tempat pembuangan, ibu langsung bertemu dengan seorang petugas sampah. Ibu dan petugas sampah itu pun mencari kantong berwarna biru yang terdapat tugasku didalamnya. Namun, banyak sekali kantong berwarna biru. Tak peduli bau menyengat, kotor dan joroknya sampah disana ibu terus saja mencari.
            Setelah sekian lama mencari akhirnya kertas gambar seni rupaku berhasil ditemukan. Ibu sangat senang sekali saat itu. Namun, kesenangan itu tidak bertahan lama. Saat ibu akan menaiki motor untuk kembali pulang, kemudian tiba-tiba datang truk sampah yang remnya blong dan menabrak ibu dari belakang. Dan Akhirnya.. “Ahhh Ragaaaa….” Teriak ibu menyebut namaku. Ibupun jatuh tersungkur tak bernyawa dijalan dengan kepala berdarah dan dengan tangan yang masih memegangi tugasku itu. Tamatlah riwayat hidup ibuku, itulah hari terakhir aku bertemu  ibu.
***
            Seperti itulah yang terjadi sehari lalu. Hari ini adalah hari pemakaman ibu. Suasana pagi hari ini sedang hujan gerimis, terlihat dari dalam kamarku banyak papan ucapan bela sungkawa dan duka cita. Meskipun hujan namun terlihat banyak sekali tetangga, teman, dan sanak saudaraku hadir ke rumahku dengan memasang wajah sedih. Hal itu semakin membuatku bersedih, semakin banyak air mata ini mengalir membasahi mata dan semakin banyak pula penyesalan yang ku pikirkan.
            Aku tak berani keluar dari kamar bahkan untuk melihat jenazah ibu. Karena masih terngiang dalam pikiranku sepenggal kata-kata terakhir yang kusampaikan pada ibu “Ahh sudahlah, ibu pergi saja dari kamarku.” Seperti itulah kata-kataku. Selalu terngiang dan terpikirkan kata-kata itu olehku, kemudian timbul penyesalan di dalam hatiku. Tangis, sedih, merana, penyesalan tak pernah hilang dari benakku. Aku terus menyendiri di dalam kamar dan terus terbayang kata “Ahh sudahlah, ibu pergi saja dari kamarku” dan kini ibu benar-benar pergi untuk selamanya. Ingin rasanya aku berbakti dan meminta maaf sekali lagi pada ibu namun semua itu takkan pernah terjadi. Andai saja aku bisa mengubah takdir ini, maka aku akan menggantikan posisi ibu dan ayah yang kini sedang tersenyum melihatku yang lagi bersedih, mereka  jauh di alam akhirat sana.
            Suasana semakin menyedihkan saat terdengar suara orang-orang yang sedang mengaji dan mendoakan ibu. Di dalam kamar aku terisak dengan nafas tak beraturan, dengan air mata yang tak bisa dihentikan. Kemudian aku menengadahkan tangan berharap dan mendoakan ibu. Sejak saat itu pula aku berjanji untuk mewujudkan harapan ibu yang dulu pernah disampaikannya “Raga jadilah anaj yang soleh, gapai cita-cita tinggimu, jadilah seorang pemimpin yang bijaksana. Kau tak perlu member ibu apa-apa. Jika kau senang itu saja sudah cukup bagi ibu.” Seperti itulah kata ibu dahulu saat aku masih kelas 5 SD di kampong dan hidup kami masih sangat sulit saat itu.
            Disaat Aku sedang memejamkan mata seraya mengenang dan memikirkan ibu, tiba-tiba datang seseorang dan mengetuk pintu kamarku.
“Tokk, tokk.., dek abang mau ketemu sama kamu..” kata abangku di depan pintu kamarku.
“Iya bang..” kataku sambil membuka pintu.
“Dek, ehmm ini, eh jadi begini.” Kata abangku terpatah-patah.
“Apa bang..?” tanyaku sambil menghapus air mata.
“Ini dek, sebelum ibu meninggal, ibu sempat menitipkan ini pada abang untuk diberikan padamu..” jawab abangku.
“Apa ini, sebuah surat?” tanyaku bingung.
“Iya, kemudian ini barang terakhir yang masih ibu pegang saat kecelakaan itu. Mungkin ini punyamu.” Jawab abangku.
“Apa ini, tugasku yang hilang?!” kataku bingung.
“oh iya, maaf dek. Abang kemarin lupa memberikan surat dan kertas gambar ini padamu. Seharusnya abang memberikannya sebelum ibu pergi keluar rumah sore kemarin. Saat kutanya, ibu mau kemana, ibu menjawab mau ke tempat pembuangan sampah.” Kata abangku jelas.
            Melihat semua barang itu membuat air mataku kembali pecah. Bercucuran kesedihan dan penyesalandalam diriku. Lalu kupandangi kertas gambar senirupaku itu yang terlihat sudah kotor penuh dengan bercak darah. Lalu kubuka dan kubaca sepucuk surat terakhir ibu.

Untuk Raga Mahendra
Anakku Tersayang :)
            Assalamu’alaikum nak, ibu menulis surat ini untukmu. Ibu sengaja menulis ini sebagai tanda permohonan maaf ibu, karena tak sengaja membuang tugas sekolahmu itu. Ibu menulis surat ini supaya kamu dapat membacanya terus dan dapat memaafkan ibu. Ibu melihat kamu sedang marah dan tak ingin bertemu dengan ibu, jadi ibu minta maaf dengan menulis surat ini saja. Tenang nak, setelah ini ibu akan cari tugasmu itu, doakan ya semoga ibu bisa menemukannya. Wassalamualaikum :)
            Salam Sayang
                                                                                                                                      Ibu

            Kemudian Seketika itu aku bergegas pergi keluar dari kamar, turun menyusuri anak tangga dengan mata yang bengkak memerah juga basah karena air mata, kemudian aku menghampiri jenazah ibu dan langsung memeluk jenazah ibu yang masih wangi itu dengan penuh penyesalan dan perasaan salah. Orang-orang hanya terdiam memandangiku.
“Ibu maafkan aku ibu..” Bisikku pada ibu.

~Sekian. Karya: I'ib Persada

Post a Comment

0 Comments