Saat
itu tepat pukul 17.00 WIB, aku pulang kerumah padahal sebenarnya aku harus
pulang pukul 14.00 WIB. Bersiaplah aku
menghadapi comelan seorang lelaki dewasa yang aneh itu.
“Assalamu’alaikum…” kataku sambil membuka garasi.
“Heyy Raga! Kemana saja kamu? Terlambat pulang saja
terus!” kata laki-laki aneh itu membentakku.
“Memangnya kenapa? Bukannya aku harus latihan lomba
bersama teman-teman pramukaku di SMP,
ibu saja tahu..” kataku sedikit melawan.
“Beraninya kamu melawanku!” kata laki-laki aneh itu
sambil membentak dan juga memukulku.
“Astaghfirullah…, sudah yah sudah, sabar..” kata ibu
menenangkan.
“Dasar kamu anak tiri tidak tahu diri! Sudah numpang
makan, tidak tahu terima kasih lagi!.” Kata laki-laki aneh itu dengan emosinya.
Kemudian
Aku bergegas masuk ke kamar tanpa memperdulikan tingkah ayah tiriku itu. Aku
mencoba melupakan kejadian itu yang sudah sering aku alami. Kemudian aku
terduduk diatas kasur sambil memandangi jendela dengan memasang wajah kesal,
seketika itu teringat sosok ayah.
“Andai saja ayah masih ada, mungkin aku tak akan
hidup sebegitu menderita seperti saat ini. Oh ayah hidupku kini hanya bersama ibu dan abang, aku juga harus menghadapi ayah tiri jahat itu sejak setahun
yang lalu di desa. Kini aku hidup di kota, memang disini semua terasa lebih,
lebih nyaman rumahnya, lebih enak makanannya, dan masih banyak lagi yang lebih.
Namun jujur saja aku sesungguhnya kekurangan kasih sayang. Sehingga membuatku
lebih egois dan suka marah-marah. Oh ayah bagaimana jika aku juga kehilangan
ibu. ” bisikku lembut pada hati yang sedang mengeras.
Kemudian
datang seseorang mengetuk pintu.
“Tokk,, tok,, Raga, buka pintunya” kata ibu.
“Iya bu, sebentar..” jawabku sambil mencari kertas
gambar seni rupaku.
“Raga.., kenapa lama sekali? Coba pintunya jangan di
kunci . ibu mau bicara sebentar dengan kamu nak..,” kata ibu dengan lembut.
Lalu
kubuka pintu kamarku itu dengan suasana hati yang masih marah.
“Ada apa bu..?” kataku dengan nada kesal.
“Raga, coba kamu minta maaf gih dengan ayah..,” kata
ibu membujukku.
“Tidak bu, tidak.. aku tidak sudih. Dia bukan
ayahku. Harusnya dia yang minta maaf.” Kataku dengan kesal sambil mencari
kertas gambar seni rupaku.
“Ya ampun Raga, bagaimanapun dia ayahmu yang member
nafkah kini.” Kata ibu sabar.
“Oke bu dia ayahku! Ayah yang kejam..” kataku kesal.
“Sudah-sudah sabar.., istighfar tenangkankan dirimu
nak..” kata ibu menenangkanku.
Akupun
beristighfar di dalam hati, namun tidak menjawab perkataan ibu karena aku masih
marah dengan ayah tiriku itu. Terlihat ibu masih saja bersandar di kusen pintu
kamarku, ia memerhatikan gerak-gerikku yang sedang bingung.
“Raga, kamu cari apa?” tanya ibuku.
“Aku mencari kertas gambar seni rupaku bu. Ibu lihat
kertas itu?” jawabku.
“Ya ampun nak, maafkan ibu.., tadi pagi setelah kamu
berangkat sekolah ibu mengemasi kamarmu yang berantakan. Lalu, ibu mengambil
kertas itu, ibu kira itu sampah yang sudah tidak dipakai lagi jadi ibu buang ke
tempat pembuangan sampah. Ma..” kata ibu dan aku memotong perkataannya.
“Apa?? Ibu.. ah ibu.. kenapa ibu buang. Itu tugas
sekolah raga besok mau dikumpulkan, tidak mungkin mengerjakannya lagi dalam
waktu sehari, butuh waktu seminggu..!” jawabku marah-marah.
“Aduh maaf ya nak, ibu salah..” kata ibu memohon.
“Ahh sudahlah ibu pergi saja dari kamar ku..!”
kataku marah-marah karena terbawa emosi dengan ayah tiriku itu.
Lalu
setelah itu, tanpa sepengetahuannku dengan sabarnya ibu pergi ke tempat
pembuangan sampah dekat rumahku. Dimana di tempat pembuangan sampah itu ibu
membuang tugasku bersama sampah rumah tangga lain. Sesampainya di tempat
pembuangan, ibu langsung bertemu dengan seorang petugas sampah. Ibu dan petugas
sampah itu pun mencari kantong berwarna biru yang terdapat tugasku didalamnya.
Namun, banyak sekali kantong berwarna biru. Tak peduli bau menyengat, kotor dan
joroknya sampah disana ibu terus saja mencari.
Setelah
sekian lama mencari akhirnya kertas gambar seni rupaku berhasil ditemukan. Ibu
sangat senang sekali saat itu. Namun, kesenangan itu tidak bertahan lama. Saat
ibu akan menaiki motor untuk kembali pulang, kemudian tiba-tiba datang truk
sampah yang remnya blong dan menabrak ibu dari belakang. Dan Akhirnya.. “Ahhh
Ragaaaa….” Teriak ibu menyebut namaku. Ibupun jatuh tersungkur tak bernyawa
dijalan dengan kepala berdarah dan dengan tangan yang masih memegangi tugasku
itu. Tamatlah riwayat hidup ibuku, itulah hari terakhir aku bertemu ibu.
***
Seperti
itulah yang terjadi sehari lalu. Hari ini adalah hari pemakaman ibu. Suasana
pagi hari ini sedang hujan gerimis, terlihat dari dalam kamarku banyak papan
ucapan bela sungkawa dan duka cita. Meskipun hujan namun terlihat banyak sekali
tetangga, teman, dan sanak saudaraku hadir ke rumahku dengan memasang wajah
sedih. Hal itu semakin membuatku bersedih, semakin banyak air mata ini mengalir
membasahi mata dan semakin banyak pula penyesalan yang ku pikirkan.
Aku
tak berani keluar dari kamar bahkan untuk melihat jenazah ibu. Karena masih
terngiang dalam pikiranku sepenggal kata-kata terakhir yang kusampaikan pada
ibu “Ahh sudahlah, ibu pergi saja dari kamarku.” Seperti itulah kata-kataku.
Selalu terngiang dan terpikirkan kata-kata itu olehku, kemudian timbul
penyesalan di dalam hatiku. Tangis, sedih, merana, penyesalan tak pernah hilang
dari benakku. Aku terus menyendiri di dalam kamar dan terus terbayang kata “Ahh
sudahlah, ibu pergi saja dari kamarku” dan kini ibu benar-benar pergi untuk
selamanya. Ingin rasanya aku berbakti dan meminta maaf sekali lagi pada ibu
namun semua itu takkan pernah terjadi. Andai saja aku bisa mengubah takdir ini,
maka aku akan menggantikan posisi ibu dan ayah yang kini sedang tersenyum
melihatku yang lagi bersedih, mereka
jauh di alam akhirat sana.
Suasana
semakin menyedihkan saat terdengar suara orang-orang yang sedang mengaji dan
mendoakan ibu. Di dalam kamar aku terisak dengan nafas tak beraturan, dengan
air mata yang tak bisa dihentikan. Kemudian aku menengadahkan tangan berharap
dan mendoakan ibu. Sejak saat itu pula aku berjanji untuk mewujudkan harapan
ibu yang dulu pernah disampaikannya “Raga jadilah anaj yang soleh, gapai
cita-cita tinggimu, jadilah seorang pemimpin yang bijaksana. Kau tak perlu
member ibu apa-apa. Jika kau senang itu saja sudah cukup bagi ibu.” Seperti
itulah kata ibu dahulu saat aku masih kelas 5 SD di kampong dan hidup kami masih
sangat sulit saat itu.
Disaat
Aku sedang memejamkan mata seraya mengenang dan memikirkan ibu, tiba-tiba
datang seseorang dan mengetuk pintu kamarku.
“Tokk, tokk.., dek abang mau ketemu sama kamu..”
kata abangku di depan pintu kamarku.
“Iya bang..” kataku sambil membuka pintu.
“Dek, ehmm ini, eh jadi begini.” Kata abangku
terpatah-patah.
“Apa bang..?” tanyaku sambil menghapus air mata.
“Ini dek, sebelum ibu meninggal, ibu sempat
menitipkan ini pada abang untuk diberikan padamu..” jawab abangku.
“Apa ini, sebuah surat?” tanyaku bingung.
“Iya, kemudian ini barang terakhir yang masih ibu
pegang saat kecelakaan itu. Mungkin ini punyamu.” Jawab abangku.
“Apa ini, tugasku yang hilang?!” kataku bingung.
“oh iya, maaf dek. Abang kemarin lupa memberikan
surat dan kertas gambar ini padamu. Seharusnya abang memberikannya sebelum ibu
pergi keluar rumah sore kemarin. Saat kutanya, ibu mau kemana, ibu menjawab mau
ke tempat pembuangan sampah.” Kata abangku jelas.
Melihat
semua barang itu membuat air mataku kembali pecah. Bercucuran kesedihan dan
penyesalandalam diriku. Lalu kupandangi kertas gambar senirupaku itu yang
terlihat sudah kotor penuh dengan bercak darah. Lalu kubuka dan kubaca sepucuk
surat terakhir ibu.
Untuk Raga
Mahendra
Anakku Tersayang
:)
Assalamu’alaikum nak, ibu menulis
surat ini untukmu. Ibu sengaja menulis ini sebagai tanda permohonan maaf ibu,
karena tak sengaja membuang tugas sekolahmu itu. Ibu menulis surat ini supaya
kamu dapat membacanya terus dan dapat memaafkan ibu. Ibu melihat kamu sedang
marah dan tak ingin bertemu dengan ibu, jadi ibu minta maaf dengan menulis
surat ini saja. Tenang nak, setelah ini ibu akan cari tugasmu itu, doakan ya
semoga ibu bisa menemukannya. Wassalamualaikum :)
Salam
Sayang
Ibu
Kemudian
Seketika itu aku bergegas pergi keluar dari kamar, turun menyusuri anak tangga
dengan mata yang bengkak memerah juga basah karena air mata, kemudian aku
menghampiri jenazah ibu dan langsung memeluk jenazah ibu yang masih wangi itu
dengan penuh penyesalan dan perasaan salah. Orang-orang hanya terdiam
memandangiku.
“Ibu maafkan aku ibu..” Bisikku pada ibu.
~Sekian. Karya: I'ib Persada
0 Comments
Silahkan berkomentar dengan bijak dan santun.