Waktu pelajaran bahasa indonesia sudah dimulai, tampak teman-teman sedang mempersiapkan
alat tulisnya, begitu pula denganku. Ibu guru terlihat mengecek absen kehadiran
kelas. Setelah itu dia berdiri dan menjelaskan beberapa materi dan setelah itu
langsung memberi sebuah tugas pada kami.
“Baik anak-anak hari ini kalian harus membuat sebuah
cerpen atau cerita pendek dengan tema tentang Keluarga bahagia bersama Ibu dan Ayah. Ingat! Waktunya 60 menit
mulai dari sekarang..” Begitulah kata Bu Asnah guruku.
Jam
dinding didepan kelasku terus berdetak, detik demi detik terus berlalu. Kelasku
yang awalnya rebut seperti pasar kini menjadi sunyi. Terlihat teman-teman mulai
menggerakkan penanya diatas secarik kertas. Tampak dari sini mereka mulai menulis.
Mata mereka terlihat bersemangat, wajah mereka terlihat ceria, dan bibir mereka
terlihat tersenyum.
Sepuluh
menit pertama baru saja berlalu, sedangkan aku masih bingung ingin menulis apa.
Laluku pandangi pemandangan di luar jendela kelasku. Sambil merenung aku juga
berfikir sembari meratapi kaca jendela. Rasanya bingung ingin menulis apa, saat
aku mengingat ibu yang terlintas hanyalah kesedihan. Dan masih teringat
kematian ibu yang tragis itu. Ketika itu aku sangat marah pada ibu sehingga
terlontar kata “Ahh sudahlah, ibu pergi saja dari kamarku..” itulah penyesalan
dan kekecewaan paling dalamku. Itulah kata terakhirku yang kusampaikan pada
ibu. Sepenggal kata yang menyakitkan itu selalu membuatku menangis tiap
mengingat ibu.
Mataku
mulai memerah dan berkaca-kaca lalu ku berusaha menghapuskan air mata itu.
Terasa berat tangan ini untuk menulis sebuah cerpen apa lagi dengan tema
tentang Ibu, Ayah, atau keluarga bahagia. Timbul pertanyaa,
apakan aku harus menuliskan kenyataan yang aku alami? Tentu saja tidak. Namun
pikiran ini seakan seperti terpenjara dan tak bisa keluar dari kenyataan.
Jam
didnding sudah menunjukan pukul 10.25 itu artinya sudah 25 menit berlalu. Ibu
guru Asnahpun terlihat mondar-mandir mengecek kerjaan teman-teman. Teman-teman
pun terlihat sangat asik menuliskan ceritanya, ada yang sudah menulis sampai
setengah halaman, dan ada pula yang sudah menulis penuh satu halaman. Kemudian
ibu gurupun mulai mendekatiku. Akupun gelisah karena bingung ingin menulis dari
mana.
“Raga.. ayo di tulis cerpennya..!” kata Ibu Asnah
dengan nada tinggi.
“Oh iya bu iya..” kataku berpaling dari jendela dan
terkejut.
Kemudian
tanganku terpaksa mulai menulis beberapa kata. Tetapi lagi-lagi, aku kembali
terhenti ketika mimikirkan ayah yang dahulu sangat akrab denganku. Akupun
kembali memandangi kaca jendela. Dan datang lagi kesedihan dalam benakku. 3
tahun lalu, saat aku berusia 11 tahun, saat itu aku masih kelas 6 SD. Hari itu
ayah sakit keras, tangan dan kakinya tak mampu untuk digerakkan. Kata salah
seorang bidan dari Kota Pontianak yang sedang bertugas di desaku. Ayahsedang
mengalami gejala penyakit jantung dan struk. Penyakit itu didapatkannya mungkin
karena ayah sering memaksakan dirinya bekerja di ladang.
Sungguh
aku sangat kehilangan ayah apalagi bila aku mengingat 4 buah pesan yang pernah
beliau sampaikan dulu. Waktu itu aku, abang dan ayah sedang beristirahat di
pondok kayu sederhana yang berada di tengah-tengah ladang kebun nanas. Saat itu
hari sudah sore, badan kami terasa lelah mencangkul seharian. Aku dan abang
terbaring, sedangkan Ayah duduk sambil memandangi kami dan berkata.
“Nak, kalian
anak kesayangan bapak. Meskipun kita hidup susah di kampong kalian harus tetap
semangat. Ingat baik-baik pesan bapak.
Pertama,
teruslah menjadi anak soleh yang selalu berdoa
walau dikala senang atau susah.
Kedua, gapailah
mimpi kalian dengan belajar yang rajin.
Ketiga, nah ini
ni harus benar-benar kalian ingat. Yakni janganlah kalian pacaran, karena itu
mendekati zina, dan mendekati zina itu dibenci Allah.
Terakhir,
keempat yakni jadilah kalian seorang pemuda dengan mimpi yang idealis. Meskipun
kita orang rendahan, namun mimpi dan cita-cita kita tidak rendahan.
” begitu kata ayah.
Sungguh,
kini semakin sulit jari ini untuk menulis. Karena pikiranku seakan terpenjara
kesedihan masa laluku. Bagaimana tidak, aku sangat kehilangan Ayah dan ibu,
meski kini masih ada abangku yang kini duduk di bangku SMA. Ibuku, dialah yang
tak menghiraukan sakit saat melahirkanku. Dialah yang mengorbankan seluruh
nyawanya saat aku dilahirkan. Dialah orang yang selalu memberikau kasih dan
sayang yang selalu di balut cinta.
Ayahku,
dialah seorang suri tauladan pemimpin keluarga. Dialah yang selalu bekerja
meski lelah berdamping susah. Dialah yang selalu bekerja walaupun hujan badai menerjang.
Dialah idolaku, sosok yang amanah dan tanggung jawab terhadap keluargaku.
Akupun
tak berdaya, terdiam, melamun sambil menatap kea rah jendela. Lagi-lagi aku tak
mampu menuliskan cerpen karanganku. Meskipun aku tak harus menuliskan kenyataan
hidup yang kualami. Namun apada diriku sudah terpaku pada kenyataan.
Saat
aku berfikir bahwa Ibu dan ayah sudah meninggal, tak ada lagi kebahagiaan dalam
hidupku. Jadilah aku seorang yatim piatu. Ibu dan Ayah, jika aku membalas semua
kebaikan kalian dengan emas segunung maka itupun belum cukup untuk
membalaskannya. Apa lagi dengan segala pengorbanan yang kalian berikan
kepadaku. Bagiku kalianlah pahlawan yang ikhlas tak membawa kebencian.
Tidak
kusadari waktu 45 menit melewatiku tanpa permisi. Ibu Asnah pun mulai menyuruh
kami mengumpulkan cerpen karangan kami.
“Ayoo anak-anak sudah 45 menit, bagi yang sudah
selesai silahkan sekarang dikumpulkan..!” begitu katanya.
Terlihat
beberapa murid sudah selesai, merekapun berjalan ke mukakelas untuk
mengumpulkan cerpennya. Sedangkan aku baru menulis sepenggal kalimat yang
kusebut itu sebagi judul.
Kemudian
aku mencoba untuk keras berfikir mencari kebahagiaan dalam keluargaku. Namun
lagi-lagi sambil memandangi jendela yang kuingat adalah kekejaman ayah tiriku.
Setelah ayahku meninggal, Ibu dinikahi oleh salah seorang pejabat kota bernama
Damar yang waktu itu sedang mampir di desa kami. Dan Akhirnya Aku, abang, dan
ibu pun ikut pindah ke kota Pontianak. Pada awalnya kami kira dia sosok yang
baik namun rupanya ada udang di balik batu. Dia hanya ingin tanah ladang ayah
yang sudah turun temurun kami rawat.
Dan
kini saat ibu sudah meninggal setahun yang lalu. Ayah tiriku semakin
menjadi-jadi. Bagiku menyebut namanya saja adalah haram bagiku. Setiap hari aku
dan abangku diperlakukan layaknya pembantu. Setiap hari bentakan, cacian,
makian, bahkan pukulan sudah jadi makanan rutinku. Ditambah lagi, saat ia
menikah lagi, istrinya itu memperlakukan ku sama seperti dia memperlakukanku.
Hari-hariku penuh dengan penderitaan. Dia menyekolahkanku semata-mata hanya
untuk mempertahankan gengsi jabatannya sebagai pejabat public.
Seketika
itu aku terkejut, waktu 55 menit baru saja berlalu. Sedangkan kertasku masih
terlihat putih bersih. Hanya terlihat sepenggaal kalimat di atasnya. Terdengar
Ibu Guru dengan nada tegasnya menyuruh kami semua mengumpulkann cerpen kami.
Kulihat teman-teman berbondong-bondong dengan wajah yang ceria meletakkan tugas
cerpennya di atas meja Bu Asnah. Akupun sambil merasa malu dan takut langsung
meletakkan kertasku di tengah tumpukan tugas.
Ketika
malam hari di Rumah Bu Asnah. Saat itu ia sedang menonton acara TV kesukaannya
yakni Tukang Bubur Naik Haji The Series di RCTI. Ia menonton ditemani Ayah dan
Ibunya, mereka pun saling bersanda gurau dengan asiknya. Ibu asnah yang belum
menikah dan masih tinggal bersama orang
tuanya itu juga sambil mengoreksi tugas cerpen murid-muridnya setiap jeda
iklan. Ia baru saja mengoreksi setengah dari tumpukan tugas itu dan ia
berkesimpulan bahwa murid-muridnya memiliki kehidupan yang bahagia bersama Ayah
dan Ibunya. Namun, ia belum sampai mengoreksi cerpen buatanku yang hanya
bertuliskan sepotong kalimat.
Ibu dan Ayahku Sudah Tiada.
~Sekian. Karya: I'ib Persada
0 Comments
Silahkan berkomentar dengan bijak dan santun.